Serba-Serbi KKN: Seni Mengajari Anak-Anak dengan Ragam Karakternya

 




Sembari mengisi waktu di penghujung Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang saya lakukan di Blorakota kelahiran saya—saya mencoba menulis beberapa pengalaman saya, meskipun saya rasa ini sedikit terlambat karena awalnya saya ingin membut jurnal beberapa episode tentang kegiatan kuliah saya untuk memenuhi kebutuhan sks. Eh, maksud saya sekaligus belajar untuk bersosialisasi dengan masyarakat juga dong hehehe.

Program kkn yang saya usung pun tak jauh-jauh dari kehidupan literasi, seperti membaca bersama anak-anak, kelas menulis di blog bersama anak-anak SMP, dan diklat pengaksesan sumber bacaan digital. Tak hanya tentang literasi saja, saya juga memiliki program perpaduan seni dan lingkungan, yakni mewarnai tema lingkungan bersama anak-anak. 

Sasaran kegiatan saya selama KKN ini pun tak jauh dari anak-anak. Alasannya sederhana, sih, saya tidak begitu pandai berbincang dengan bapak-bapak atau ibu-ibu dan jika dipikir-pikir untuk mengajarkan tentang literasi digital kepada masyarakat yang berusia dewasa cukup sulit karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, seperti psikologi, tempat tinggal, dan pekerjaan mereka yang membuat saya memutuskan fokus memberikan pembelajaran untuk anak-anak dan remaja saja. 

Pikir saya anak-anak pasti lebih menyenangkan dan mudah. Namun, kenyataannya mengajar bersama anak-anak tak selalu manis kawan, ada kalanya energi kita (mengingat saya merupakan remaja jompo pula) akan terkuras cukup banyak karena harus menyaingi semangat dan energi anak-anak yang rasanya tak ada capek-capeknya.

Nah, untuk menyeimbangkannya tentu kita harus tau seni mengajar. Eh, apakah mengajar itu termasuk seni? Bagi saya iya karena sebagai pengajar kita dituntut menjadi kreatif memposisikan diri sebagai anak-anak dan punya kesabaran ekstra ketika anak-anak susah dikendalikan.

Mengajar Anak-Anak Tidak Semudah yang Dibayangkan

Awalnya saya menganggap enteng kegiatan mengajar di sekolah dasar maupun sekolah menengah, tetapi kenyataannya tidak demikian. Melihat salah seorang kawan saya tampak serius mempersiapkan presentasi untuk disampaikan kepada sasaran, saya sedikit membatin, "Buat apa sih dipersiapkan seperti itu, lagian cuma ngajar bocil-bocil saja, lho" 

Namun, saat saya beraksi di lapangan ternyata cukup sulit juga mengatur anak-anak supaya tenang dan mengikuti kegiatan secara kondusif. Lebih dari itu, saya juga perlu mempersiapkan agar waktu yang digunakan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. 

Saya menyesal tidak mempelajari psikologi anak dan metode pembelajaran yang interaktif agar materi yang saya sampaikan bisa tersampaikan dengan menyenangkan di kalangan anak-anak. Semenjak itu, saya berpikir untuk mempelajari lebih banyak ice breaking yang menarik untuk mencairkan suasana kegiatan yang mungkin membosankan.




Memang mengajar anak-anak itu terlihat sepele dan mudah tinggal menyanyi dan ajak permainan mereka akan senang, tetapi kenyataannya kita perlu mengondisikan anak-anak yang memang mereka di fase aktif dan kritis sehingga metode pembelajaran yang dilakukan tentu harus menyesuaikan dengan fase yang mereka alami. Ada kalanya kita sebagai pengajar bersikap tegas, ada kalanya juga bersikap lembut. Pokoknya harus tau situasi dan kondisi, deh.

Belum lagi mengatasi mereka yang suka cemburu, suka bertanya, dan bahkan ada juga yang rewel. Tentu untuk menghadapi anak-anak kita harus mendalami sifat dan karakter masing-masing anak agar pembelajaran yang kita sampaikan bisa diserap dengan cara mereka. 

Mempelajari Psikologi Anak Itu Penting!

Saya memiliki cerita ketika saya membantu program bimbingan belajar yang diusung kawan saya dan saat itu saya mendapat bagian untuk mendampingi anak-anak kelas 1 dan 2 SD. Ketika saya mengajar beberapa anak itu tidak ada masalah. Hampir semua anak mengikuti semua intruksi saya kecuali seorang anak saja. Fokus anak itu teralihkan dengan kelompok yang lainnya.

saya dan anak-anak membaca komik bersama



Saya pun menugasi anak-anak yang lain untuk menghafal perkalian dan saya mencoba mendapatkan perhatian salah satu anak yang mengabaikan intruksi saya itu tadi. Ketika saya suruh menulis, anak itu hanya menggerakkan pensilnya dan membentuk coretan. 

Kemudian saya menyimpulkan jika anak itu memang sulit untuk diajak belajar menulis dan membaca. Saya pikir anak itu butuh perhatian lebih untuk membuatnya bisa membaca dan menulis, padahal dia sudah naik kelas dua. 

Sungguh disayangkan sebenarnya, tetapi saya memilih menyerah mengajarinya lebih intens dan kembali mengajar anak-anak yang bisa mengikuti arahan saya. Sampai di pondokan saya memikirkan ulang apa yang saya lakukan tampaknya salah dan mencoba mengobrolkan terkait hal itu dengan kawan-kawan saya. 

Mereka berpikir jika si anak ini mungkin saja minder karena salah seorang kawan mendengar anak itu dibanding-bandingkan dengan anak lain oleh tetangganya. 

Mungkin dari situ si anak merasa enggan menulis dan membaca karena merasa insyekur melihat kawan-kawannya yang bisa menulis dan membaca dengan lancar. 

Mendengar itu saya terkejut, ternyata bukan orang dewasa saja yang menga
Melihat keadaan itu tentu membuat saya berpikir ternyata lingkungan dan cara didik orang tua kepada anak sangat berpengaruh pada psikologis anak. Dari situ, saya jadi berpikir untuk mempelajari lebih jauh terkait psikologi anak dan remaja karena siapa tahu di masa depan saya membutuhkan hal itu untuk pekerjaan ataupun untuk mendidik anak saya sendiri ketika sudah menikah kelak. 

Tentu saja selama KKN ini selain berbagi ilmu dengan anak-anak, saya juga banyak belajar dengan dunia mereka yang ternyata menarik untuk diselami lebih jauh. 


Komentar

Postingan Populer